Minggu, 08 Februari 2009

Komitmen Abdul Latief membesarkan pengrajin kecil, disamping karena memang dibutuhkan untuk
meningkatkan daya beli masyarakat terhadap produk pasar swalayan, juga
untuk memenuhi permintaan Ir. Ginanjar Kartasasmita, menteri muda urusan peningkatan penggunaan
produksi dalam negeri saat itu, untuk meningkatkan produksi nasional. Sampai sekarang Abdul Latief masih
tetap konsisten terhadap komitmen itu. Kegiatannya mendorong dan mengembangkan industri kecil itulah,
maka ia dipercaya sebagai Ketua kompartemen perdagangan dan koperasi Kadin Indonesia periode
1979-1982. Bagi Abdul Latief, adanya kesenjangan antara pengusaha kecil dan pengusaha kuat, tidak lepas
dari adanya perbedaan pengusaha pribumi dan pengusaha non pribumi di masyarakat kita. Pengusaha
pribumi sering diartikan sebagai pengusaha lemah dan kecil sehingga perlu dilindungi dan diangkat. Ia
melihat perbedaan pengusaha pribumi dan non pribumi sebagai sesuatu persoalan yang serius. Sehingga ia
meminta pemerintah untuk menangani persoalan itu dengan cepat agar kesenjangan sosial itu tidak
menimbulkan gejolak sosial. Menurut Abdul Latief, pengusaha kecil yang umumnya pengusaha pribumi tidak perlu diangkat dan dilindungi, tetapi didorong dan dikembangkan. Apalagi pada era globalisasi ini, negara-
negara 4 macan Asia adalah hampir semuanya non-pribumi. Hal itu dikuatirkan menjadi masalah di kemudian
hari, sebab, para pengusaha dari negara yang maju secara ekonomi itu, pasti akan lebih percaya menjalin
bisnis dengan pengusaha sesama non pribumi.
Sehubungan dengan itu, Abdul Latief melalui makalahnya yang berjudul Konsep Mendorong dan
Mengembangkan Pengusaha Pribumi, ia mengajukan 4 dasar langkah pemecahan masalah tersebut. Pertama,
Political Will pemerintah membantu pengusaha pribumi. Kedua, Konsep yang cocok untuk mengembangkan
usaha pribumi yang sejajar dengan non pribumi, bukan konsep Alibaba. Bank pemerintah harus
memprioritaskan pemberi kredit kepada pengusaha pribumi. Keempat, semua proyek pengadaan barang dan
jasa pemerintah sepenuhnya diserahkan kepada pengusaha pribumi. Hal itu disampaikan Abdul Latief pada
Seminar Pribumi dan Non-Pribumi yang diselenggarakan Editor pada HUT-nya yang ke-4 tahun 1991 yang
lalu.
Kini, Abdul Latief terus melaju dengan Alatief Corporation. Makin banyak mitranya makin banyak perusahaan
kecil yang dibimbing dan dimajukannya. Bidang usahanya sudah merebak ke berbagai jenis usaha, tidak lagi
hanya pada bisnis retail seperti yang ditekuninya ketika mulai berusaha. Dari puluhan jenis usaha, Pasaraya
lah yang menjadi tulang punggung bisnisnya Abdul Latief mengkoordinir pengawasan semua unit usaha itu
melalui Alatief Investment Corporation. Gedung Sarinah Pasaraya di Blok M, Jakarta Selatan, adalah salah satu
pertokoan yang megah di Ibukota. Di gedung berlantai sembilan itu, terlihat
segala macam keperluan rumah tangga. Baju-baju yang trendy dan modis, mulai dari yang agak murah
sampai yang paling mahal, tersedia di supermarket yang nyaman itu. Ribuan jenis produk kerajinan tagan dari
industri kecil / industri rumah tangga sampai produk-produk elektronik, ada di tempat itu. Dari pagi sampai
malam, para pramuniaga yang ramah selalu menyapa melayani para pembeli di gedung yang bernilai Rp. 200
miliar itu. Abdul Latief menyesalkan berdirinya beberapa pusat pertokoan modern di Jakarta, yang jelas-jelas
mematikan pengusaha kecil dan tradisional. Industri kecil itu sepertinya tidak mendapat tempat untuk hidup,
sebab ia memang tidak mempunyai kemampuan bersaing dengan pengusaha modal besar. Gejalanya,
memang pengusaha sekelas raksasa masuk ke pasar tradisional. Sehingga pengusaha kecil itu tergusur atau
tenggelam. Mestinya pemerintah mencegah para pemodal kuat itu untuk tidak sembarangan masuk ke pasar
yang pangsa pasarnya merupakan lahan pengusaha kecil. Ketika salah satu pasar swalayan terbesar di dunia
dari Jepang, yaitu SOGO, membuka cabangnya di Indonesia, Abdul Latief termasuk salah seorang yang
bersuara keras menentang kehadirannya. Alasan penolakannya, karena saat itu beredar isu modal asing akan
masuk ke bisnis eceran di Indonesia. Ia juga mempertanyakan kenapa Sogo memasukkan 805 produk
impor, justru bukan memajukan produk dalam negeri. Padahal, jauh sebelum itu, Abdul Latief memang sudah
terikat pada komitmennya untuk memajukan produksi nasional. Menurut pikirannya, pemodal kuat dalam
negeri saja sudah mulai mengganggu kehidupan pengusaha kecil, apalagi kalau pengusaha yang datang itu
dari luar negeri. Bukankah setiap kali Sogo masuk ke suatu pusat pertokoan, pesaing yang sudah ada
biasanya minggir. Tapi ternyata bukan modal asing, dan pangsa pasar Sogo pun juga tidak sama, akhirnya
Abdul Latief tidak terlalu keberatan lagi. Memang Abdul Latief mempunyai pertokoan di Blok M, tetapi tidak di
pusat pertokoannya. Pasaraya Sarinah menjadi pendukung Pasar Tradisonal Blok M. Konsep yang
dikembangkan Pasaraya, menurut Abdul Latief, membeli tanah, membangun gedung, dan membuat kavling
pasar baru. Kalau masuk ke pusat pertokoan, memang cepat maju, tetapi itu intervensi namanya, membunuh
orang lain, kata Abdul Latief.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar